saya tidak mengunggah selamat hari anu
- Maharani Tarisya
- Aug 17, 2022
- 2 min read
Setiap tanggal tertentu, linimasa di media sosialku merayakan hari spesial dengan mengunggah foto dan caption ‘Selamat hari anu! Semoga anu selalu anu!’. Aku membicarakan tentang hari pahlawan, hari kartini, hari rumput laut, dan hari masukkan-jenis-barang-yang-perlu-tanggal-khusus-untuk-mengingatnya. Terutama hari ini, 17 Agustus. Hari kemerdekaan bagi negaraku, negara Indonesia.
Seperti hari-hari spesial lainnya, aku memilih untuk tidak mengunggah apapun hari ini. Mungkin ini adalah bagian dari sinisme ku terhadap hampir semua hal, tapi aku sungguh tidak dapat mengerti romantisasi kosong dari unggahan-unggahan tersebut. Iya, tujuh puluh tahun yang lalu ada beberapa orang yang membacakan sepotong teks untuk menyatakan diri bahwa Indonesia telah merdeka. Lalu? Nenekku sudah meninggal, jadi tidak ada yang bisa kutanyai lebih lanjut mengapa hal ini penting.
Orang-orang dari masa tersebut sudah mati. Sejarah ditulis oleh pemenang. Seperti ingatan, teks-teks dalam buku sejarah juga terdistorsi, bengkok dan melungker mengikuti kepentingan pembuatnya. Jadi tidak ada yang baru. Hanya kepentingan di atas kepentingan, di atas kepentingan. Ah, membicarakan politik memang tidak ada ujungnya.
Tapi aku tidak seapatis itu untuk tidak peduli terhadap hari-hari khusus yang dirayakan. Aku hanya menolak bahwa dengan mengunggah postingan selamat dinilai cukup untuk memaknai hari-hari spesial. Unggahan-unggahan tersebut tidak lebih dari reminder bahwa ada hal-hal yang kita lupakan sehari-hari, pernah ada. Keberadaannya menjadi tidak penting di lain hari, dimana ada hal lain yang harus dirayakan.
Aku menolak untuk merayakan ‘wah, tujuh puluh tahun yang lalu, Sukarno membacakan teks proklamasi! Kita merdeka!’. Aku juga menolak merayakan kemerdekaan melalui satu foto, yang kuunggah, lalu selesai dengan segala euforia hari ini. Aku menolak hal tersebut, dan memilih untuk merayakan hari ini dengan caraku sendiri.
Hari ini, aku membuka laman berita. Aku membaca berita tentang permasalahan tengik yang disebabkan oleh kelompok oligarki. Aku membaca berita tentang polisi yang membunuh polisi lainnya, dan motif pembunuhannya ditutupi. Aku membaca berita tentang konflik politik yang digoreng menjelang pemilihan umum. Aku membaca berita tentang permasalahan ekonomi yang menjerat rakyat miskin. Memuakkan bukan? Di hari spesial ini, aku memilih untuk merefleksikan diri. Tentang bagaimana, aku manusia yang hidup di negara merdeka berumur lebih dari 70 tahun ini, bisa berfungsi di tengah kekacauan Indonesia.
Di hari ini, sebagai ganti dari unggahan ucapan selamatku di media sosial, aku memilih untuk belajar mengenai narasi sejarah yang ditulis oleh tangan yang berbeda. Dari mereka yang suaranya teredam oleh kebisingan teriakan ‘dirgahayu Indonesiaku’ oleh orang-orang yang tidak mau tahu oleh permasalahan mereka. Aku akan membuka telingaku, untuk mendengar hal-hal yang biasanya tak ingin kudengar di hari lainnya. Aku juga akan memantapkan niatku, untuk membantu mereka yang membutuhkan uluran tangan. Ini usahaku untuk menjadikan Indonesia, setelah lebih dari 7 dekade merdeka, menjadi tempat yang sedikit lebih mudah untuk ditinggali mereka, Yang Terlupakan.
Aku tidak mengunggah ucapan selamat hari anu di media sosial. Tapi lewat tulisan ini, aku ucapkan selamat hari merdeka, kawanku. Bersyukurlah kau tak perlu risau akan dibedhil jika mengkritik sistem busuk di laman media sosialmu.
Comments