top of page

asumsimu itu berbahaya

  • Writer: Maharani Tarisya
    Maharani Tarisya
  • Oct 5, 2022
  • 2 min read

Jadi begini, pembaca setia. Kita punya pemahaman kolektif kalau tidak punya uang itu sesuatu yang buruk dan borderline memalukan bukan? Ketika kita ingin membeli sesuatu, tetapi tidak memiliki beberapa lembar kertas untuk melakukannya…itu agaknya sebuah pengalaman yang tidak ingin dialami orang banyak. Kita berdoa kepada Tuhan untuk diberi uang, tangan menengadah mengharap hujan kekayaan. Bekerja siang malam sampai pantat ambeien untuk gaji bulanan. Masuk akal, ya?


Biar kuluruskan satu hal. Aku bukan orang kaya, tapi syukur pada Tuhan bahwa aku berkecukupan. Lima belas ribu untuk membeli sepotong ayam tanpa tulang yang dibalur tepung, digoreng sampai krispi, lalu disiram sirop teriyaki: cukup. Jadi dengan mindset bahwa aku memiliki uang yang cukup untuk membeli ayam goreng dengan nama jepang ini, aku memesan.


30 menit menunggu? Tidak masalah. Time is all I got.

Pakai nasi? Tidak. Besok aku akan mengambil segelas beras untuk kumasak di penanak nasi warna biruku.

Pakai salad? Tidak. Aku punya mayonnaise dan acar kubis yang kubuat sendiri-kebetulan saja.


Sudah kubilang belum, kalau jaman sekarang bentuk uang tidak hanya lembaran kertas? Oh belum. Baik. Akan kujelaskan. Uang di masa modern ini, temanku, bisa berbentuk angka-angka di layar ponselmu. Di kartu debitmu. Mempermudah pembayaran, katanya. Mengurangi kontak fisik, katanya. Segala kemudahan untuk mendukung sistem kapitalisme sialan ini. Dan aku? Aku salah satu orang yang mengamini kemudahannya, tapi mengutuk cara kerjanya.


Seperti saat membeli ayam katsu saus teriyaki, di jalan Soekarno Hatta ini. Aku mengasumsikan bahwa orang lain juga mengamini kemudahan uang elektronik, dan mengutuk sistem kapitalis. Semua orang seperti itu, kan?


Tapi ternyata tidak! Oh, betapa malunya. Lihat percakapan di bawah ini

“Pakai S-oranye-pay ya mbak?”

“Oh ngga bisa mbak :D”

“Oh? Terus pakai apa?”

“Tunai :D”

Dan refleks, aku latah. Kubilang, “demi apa?”


Demi dewa Zeus yang suka kawin dengan segala jenis makhluk hidup.


Seketika ambyar. Kutekankan sekali lagi. Aku orang yang berkecukupan. Egoku akan terlukai jika kamu berpikir kalau aku tidak memiliki uang, lima belas ribu rupiah, untuk membeli ayam kulit.

Tapi

Tidak dalam bentuk kertas.


Aku tidak punya barang selembar kertas dengan foto pak Soekarno dan pak Hatta untuk membeli ayam di jalan Soekarno-Hatta. Semuanya-baru saja-aku masukkan ke dalam dompet…elektronikku.

Jadi, pembaca, kutelan egoku. Dengan canggung aku melempar terima kasih pada kakak kasir yang dengan ramah melayani pembelinya. Aku kembali ke tempatku memarkir mobil…bukan, maksudku, sepeda kayuh.


Menelan pahitnya malu, lalu buru-buru pergi dari tempat itu. Tak sanggup kudengarkan mas-mas tukang masak menggunjingku dengan mbak kasir itu tadi.


Sepanjang jalan pulang aku berjanji untuk tidak mengasumsikan bahwa semua tempat jualan itu punya alat pembayaran non-tunai. Bawa kertas-kertas itu, dan beli ayam goreng sialan itu.

 
 
 

Recent Posts

See All
Alien dan Pembaruan Kehidupan

Kapan hari, aku uninstall aplikasi Instagram dari handphone ku. Sebenarnya bukan cuma Instagram, tapi juga Youtube dan ragam media sosial...

 
 
 

1 Comment


ahoykilisuci
Oct 05, 2022

Tragedy plus time equals comedy, katanya. Entah apa intensi penulis ketika mengetikkan paragraf-paragraf di atas, tapi sungguh saya terhibur.

Like
Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2020 by Dive In. Proudly created with Wix.com

bottom of page