The Blurred Line Between Dystopia and Utopia
- Maharani Tarisya
- Apr 11, 2021
- 2 min read
Hitam dan putih.
Baik dan buruk.
Terkadang manusia mengkategorikan kehidupan dalam dua kotak besar yang sangat berbeda satu sama lainnya. Dalam konteks masa depan, atau kondisi peradaban dunia, biasanya yang dipakai adalah istilah distopia dan utopia. Distopia, keadaan yang sangat buruk sampai-sampai membayangkan saja sudah membuat ngeri. Utopia, kebalikannya, sebuah keadaan sempurna dan paling seimbang dari peradaban manusia.
Tetapi, apa definisi dari sempurna tersebut?
Baik. Mari kita coba mengasosiasikan objek atau isu yang berkaitan dengan dengan kata ‘distopia’. Saya akan berpikir mengenai kejahatan. Kriminalitas. Kemiskinan. Ketiadaan kebebasan. Dan mungkin, kematian? Sedangkan untuk utopia, saya akan membayangkan hal-hal seperti kebahagiaan. Kemakmuran. Perdamaian. Dan es krim. :D
Apakah hal-hal di atas dapat merepresentasikan pemikiran dari kebanyakan orang? Mungkin. Tapi apakah hal yang sama merupakan pemikiran dari semua manusia yang termasuk dalam peradaban tersebut? Saya rasa tidak. Karena kita semua selalu memiliki perspektif yang berbeda mengenai hal paling sederhana: definisi. Lalu permasalahannya. Bagaimana jika, orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang cukup untuk membentuk kembali peradaban, juga memiliki pemahaman dan juga cara yang berbeda dari kebanyakan orang tersebut? Bagaimana jika ada pemaknaan ulang yang ekstrem mengenai definisi sempurna untuk peradaban manusia?
Saya akan menggunakan tiga novel mengenai keadaan distopia untuk perumpamaan. 1984 milik George Orwell, The Handmaid’s Tale milik Margaret Atwood, dan Scythe milik Neil Shusterman. Spoiler alert.
Dalam 1984, dunia dipimpin suatu kepemimpinan diktator: Big Brother. Kebebasan manusia dibatasi hingga sedemikian rupa, membentuk satu bentuk peradaban yang seragam. Jangankan suara, hidup manusia bukan milik mereka sendiri, melainkan milik komunal. Sedangkan dalam The Handmaid’s Tale, dunia baru dibentuk lebih mengerucut untuk pada satu gender tertentu. Ide utama mengenai hidup manusia milik komunal masih kental di novel ini. Tetapi, saya belajar satu hal lain mengenai keadaan distopia. Yaitu propaganda.
Propaganda diberikan dari titik tertinggi piramid kekuasaan, dari pemilik otoritas mengenai definisi utopia, dan harus diterima sampai ke titik terendah piramid tersebut. Dalam prosesnya, keadaan tersebut mulai berubah. Sehingga, ketika sampai ke titik terendah, definisi utopia milik penguasa tersebut juga mencapai titik terendahnya. Distopia.
Tetapi, dari novel Scythe lah saya mulai mempertanyakan. Apakah batas keadaan distopia dan utopia begitu pasti dan jelas? Apakah dunia sempurna, dimana bentuk kejahatan dan hitam kehidupan sudah berhasil dihapuskan, adalah keadaan yang benar-benar diinginkan manusia? Di dalam dunia tanpa kematian, kehidupan dapat mendapatkan arti yang lebih berharga? Mencapai kesempurnaan?
Saya menemukan satu persamaan dari kedua keadaan ini, yaitu kestagnanan. Distopia dengan kepesimisannya yang mengerikan, utopia dengan keoptimisannya yang menyesakkan. Di sisi lain, manusia merupakan makhluk hidup yang kompleks, dengan pemikiran yang sangat bervariasi. Ubikuitasnya adalah hal yang hak. Tercipta dalam kekacauan, untuk menemukan keseimbangan.
Saya juga menolak untuk percaya, bahwa hanya ada hitam dan putih untuk menjelaskan apa yang baik dan apa yang buruk. Sesungguhnya kita semua sedang bergulat dalam keabu-abuan. Artikel sok edgy ini akan saya akhiri dengan quotes dari novel Scythe (yang sedang dalam progres dibaca, namun sudah gatal ingin mereview),
“In the grand scheme of things, everyone was equally useless.”
Dystopia, huh?
Remind me of comic-based movie about this topic, too.
V for Vendetta.
Di sana, diceritakan bahwa dunia berada di bawah satu kekuasaan tunggal; media menjadi alat propaganda program pemerintahan, yang bullshit tentu saja; police brutality, and so on.
But the ironic thing is, penduduknya merasa "baik-baik saja" dengan itu semua. Status quo sudah bergeser. People are sedated. Kecuali seorang tokoh bernama V, yang akhirnya menyulut "pemberontakan". He is the one awake. But not the only one.
Dan, ya. Cerita itu berdasarkan kisah percobaan pengeboman gedung parlemen Inggris. Yes, the November the 5th event. Felt so real.
Dan ternyata, dari indikator dystopic society yang disebutkan di atas, beberapa sudah terjadi di sini. The real world.
Are you living inside…