top of page

When you live a life of others nightmare: Review The Dressmaker of Khair Khana

  • Writer: Maharani Tarisya
    Maharani Tarisya
  • Jan 23, 2022
  • 4 min read


Overall review

Terrifyingly frustrating.

Kedua kata tersebut saya rasa yang paling mewakili pengalaman saat membaca biografi singkat ini. Secara keseluruhan, The Dressmaker of Khair Khana oleh Gayle Tzemach Lemmon menceritakan mengenai pengalaman hidup Kamila Sidiqi dan saudari-saudarinya. Mereka berusaha untuk bertahan hidup di tengah keadaan yang chaos, ketika Afghanistan jatuh ke kekuasaan kelompok radikal Taliban engan segala aturan ekstremnya pada tahun 1997-2001. Melalui buku ini, pembaca diajak untuk menyusuri jalanan Kabul yang mencekam dan penuh dengan resiko.

Buku ini berawal dari perkenalan tokoh utama, Kamila Sidiqi, yang lulus dari institusi pendidikan untuk dapat menempuh pekerjaan yang lebih layak. Ia adalah satu dari sedikit perempuan yang menempuh pendidikan di Afghanistan. Hal ini dikarenakan prinsip dari Woja Abdul Sidiqi, ayah Kamila dan saudara-saudarinya, yang menekankan pentingnya edukasi. Baik untuk dirinya, maupun untuk anak-anaknya. Edukasi inilah yang juga menjadi poin utama sepanjang cerita dalam buku The Dressmaker of Khair Khana.

Namun, kelulusan Kamila tersebut dapat dikatakan terjadi di waktu yang kurang tepat, karena tidak lama setelah kelulusannya terjadi perpindahan kekuasaan di Afghanistan. Dan mimpi yang lebih buruk dimulai dari sana. Peraturan baru mulai diterapkan kepada masyarakat Afghanistan, secara spesifik untuk perempuan-perempuan Afghan. Mulai dari wajibnya pemakaian Chadri, hingga dilarangnya perempuan untuk keluar rumah. Padahal kehidupan terus berlanjut, dan kebutuhan dasar harus terpenuhi. Apabila perempuan-perempuan ini tidak diperbolehkan bekerja, sementara perekonomian keluarga ditopang oleh istri yang ditinggal oleh suaminya berperang, lalu bagaimana mereka mendapat uang untuk membeli makanan?

Oleh karena itu, Kamila berusaha untuk mencari celah dari aturan yang mencekik itu agar dapat menyambung hidup. Ia menjadi penjahit baju (dressmaker) dan berusaha untuk membangkitkan perekonomian keluarga dan kerabat dekatnya di tengah keadaan yang tidak menentu. Kamila tidak kehilangan semangat dan kegigihannya untuk bertahan hidup, walaupun secara ironis usaha tersebut memiliki resiko kehilangan nyawanya. Kamila tidak hanya berusaha untuk dirinya sendiri, namun juga keluarga dan komunitasnya.


All seriousness aside, HOW IS THAT POSSIBLE??? CAN YOU IMAGINE NOT BEING ABLE TO GO OUT OF YOUR HOUSE, UNLESS YOU WANT TO BE BEATEN TO DEATH OR BEING THROWN TO A PRISON??? At first, I think this is just another dystopian novel. But it is actually scarier than dystopian stories I’ve read before. Because you know that even if it’s mirroring the phenomenon in society, dystopian stories use a metaphoric and hyperbolic style of writing. But this book? This shit is real. It really happened somewhere in this world, in a country called Afghanistan. It is not something made from someone's imagination, but rather an experience from young girls who were threatened to death if they don’t follow some rules made by tyranny.

Being stripped off from freedom that is barely there from the start, we can see how small things matter in this kind of situation. I really admired the strong-willed and humbleness trait of Kamila Sidiqi. Makes me wonder if I were put in this situation, can I actually survive with a great story to tell?


Moral and Lesson of the Story

Setelah menutup halaman terakhir dari buku ini, saya menarik nafas panjang. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari cerita Kamila Sidiqi yang kompleks ini, dari berbagai sudut pandang.

Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, saya melihat bahwa background dari para pemilik kekuasaan akan sangat mempengaruhi jenis kebijakan yang dibentuk dalam pemerintahannya. Disini anggota Taliban digambarkan sebagai bagian masyarakat yang tumbuh besar dalam satu ajaran “unforgiving interpretation of Islam”. Sehingga, kebijakan yang diberlakukan juga tidak jauh dari apa yang mereka pahami, walaupun hal tersebut tidak memberikan manfaat yang terlihat. Namun menariknya, beberapa aturan tersebut disebut ‘efektif’. Bagaimana hukuman potong tangan dan gantung bisa menekan angka kejahatan menjadi hampir nol persen dalam beberapa hari. Makes me wonder, rezim yang dijalankan dan dilanggengkan dengan menggunakan rasa takut rakyatnya, akan bertahan berapa lama? 1 tahun? 5 tahun? 10 atau 20 tahun?

Disinilah pentingnya ‘versi kebenaran’ yang lain dibutuhkan. Sebagai bagian dari masyarakat multikultur, akan sangat berbahaya apabila paham seperti ini masuk dan lestari dalam masyarakat Indonesia. Ketika interpretasi agama dari satu kelompok tertentu dipaksakan menjadi satu-satunya versi yang benar, bibit-bibit chaos sudah dipastikan akan tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kita bisa belajar dari buku ini bahwa konflik yang disebabkan oleh permasalahan seperti ini tidak akan membawa kebaikan bagi kelompok manapun. Ketika salah satu kelompok mendapatkan kekuasaan pun, perdamaian itu tidak dapat tercapai. They tried, and the system failed them. Therefore, we don’t have to repeat their mistakes.

Di sisi lain, buku ini juga menunjukkan different face of feminism. Saya rasa buku ini memperlihatkan bagaimana konsep feminisme dapat hadir tanpa label maupun embel-embel feminisme itu sendiri. Kamila Sidiqi adalah perempuan yang teredukasi, yang berusaha untuk menyambung kehidupan keluarganya dengan mengambil resiko yang besar, yang mengempower perempuan lainnya dengan memberi mereka kesempatan yang sama dengan menjahit, serta memberikan edukasi pada perempuan lain. Seringkali, feminisme dipahami sebagai sebuah tindakan yang radikal dan ekstrem. Beberapa bagian masyarakat malah menganggap feminisme sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran agama. Melalui buku ini, saya menyadari bahwa paham feminis tidak selalu seperti itu. Kamila Sidiqi adalah seorang feminis tanpa label dan agenda, yang bergerak dalam solidaritas kemanusiaan (act of humanity).


Favourite Quotes from the Dressmaker of Khair Khana


“What little grounding they had in their own history had come through the filter of barely educated, deeply religious madrassa teachers who schooled them in a singular, unforgiving interpretation of Islam very different from the Afghan culture.” -Chapter 2, page 36


“Kabulis watched helplessly as the Taliban began reshaping the cosmopolitan capital to their utopian vision of seventh-century Islam. Almost immediately they instituted a brutal-and effective-system of law and order.” -Chapter 2, page 37


“Across the capital, women of all ages and backgrounds were learning to make do in a city run by men who wanted them to disappear.” -Chapter 3, page 49

Comentários


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2020 by Dive In. Proudly created with Wix.com

bottom of page