top of page

Kayu Manis

  • Writer: Maharani Tarisya
    Maharani Tarisya
  • Jan 5, 2021
  • 4 min read

Permadi pernah mencintai Larasati.


Pernah mencintai bagaimana baju rajut berserat katun kesayangan Larasati memamerkan lekukan di tubuh wanita itu. Permadi menyukai perasaan yang dihasilkan saat ia mengelus punggung Larasati saat mereka berpelukan, dan bisa merasakan halus kulitnya dari balik baju rajut itu. Merasakan tubuh Larasati bergetar saat ia tertawa karena tangan Permadi yang jahil menggelitiki pinggang ramping miliknya.


Pernah mencintai bagaimana wanita itu beraroma kayu manis di seluruh bagian tubuhnya. Bagaimana tubuh mereka bereaksi saat bersentuhan satu sama lain. Bercinta dengan Larasati pernah menjadi hal yang bersifat kosmis. Menakjubkan, dan senilai nafas yang dihembuskan. Ketika aroma kayu manis Larasati memberi segala ketenangan di dunia, menjadi penawar bagi masalah dan kerisauan Permadi. Sofa butut mereka bisa menjadi nirvana, tempat mereka beradu dalam nafas yang menderu.


Pernah mencintai momen yang mereka lalui bersama saat mendengarkan Moonlight Sonata dari pemutar piringan hitam mereka. Larasati yang menyenderkan badannya ke dada Permadi, dan Permadi yang mabuk akan eksistensi Larasati. Di rumah mereka, mereka raja dan ratu. Tidak hanya untuk semalam, namun banyak malam yang mereka lewati bersama.


Pernah.


Saat-saat yang sureal, begitu jauh hingga Permadi tak mampu lagi mengenali ingatannya sendiri. Ia tak yakin bahwa kenangan itu miliknya dan benar-benar terjadi atau tidak. Semuanya terasa asing.


“Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan, Gun.”


Asap rokok berhembus dari bibir Gunawan. Udara abu-abu melebur, menyisakan bau apak tembakau. Sore itu, di depan teras rumah Gunawan, kedua teman saling menceritakan apa yang menjadi uneg-uneg masing-masing. Gunawan menawarkan batang rokok, yang disambut dengan senang hati oleh Permadi. Sekarang asap rokok tak lagi dihasilkan dari bibir Gun, namun juga bibir Permadi.


Mengisap dan menghembus. Isap dan hembus. Kegiatan itu dilakukan dalam diam dan sambil menerawang jauh. Keduanya tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Permadi tidak mendesak jawaban dari Gunawan, karena tahu sahabatnya itu tipe orang yang berhati-hati dengan apa yang akan dikatakannya.


“Kau harus membicarakan hal ini dengan Larasati. Ia bukan perempuan bodoh, wanita itu.”


Permadi juga mengetahui hal itu. Bisa dikatakan ialah yang paling mengetahui hal itu. Kepintaran Larasati adalah salah satu alasan untuk mencintainya. Menyelami Larasati dan pemikirannya adalah hal yang pernah ia nikmati. Pernah.


“Apa yang bisa dikatakan? Bagaimana bisa? Dengan cara apa?”


“Hal itu harus kau temukan sendiri.”


Sebenarnya kata-kata sudah tersusun dan tersimpan di ujung lidah. Skenario terbaik sampai skenario terburuk sudah dimainkan di kepala Permadi. Waktu yang terus diulur karena hati yang bimbang. Karena kepengecutan Permadi akan apa yang harus dihadapinya, apabila ia memutuskan untuk mengatakan hal itu keras-keras dan bukan hanya di kepalanya saja.


Bahwa ia sudah tidak mencintai Larasati lagi.


Dan ia menginginkan perpisahan.


Ia tidak yakin kapan pastinya. Kapan ia mulai kehilangan cintanya untuk Larasati, dewi beraroma kayu manis miliknya. Hanya saja sebuah ide yang tertanam di otak seseorang tidak dapat dienyahkan dengan mudah. Permadi juga berharap ada yang bisa membelah kepalanya, mengambil otak Permadi dan mengembalikannya seperti sedia kala.


Yang tidak mungkin dilakukan.


Ia juga tahu persis bahwa hubungan mereka harus dipertahankan. Semuanya dapat dibicarakan. Adalah omong kosong besar. Tidak semua hal dapat dibicarakan. Karena sekali pemikiran seperti ini dikeluarkan dari tempatnya dihasilkan, papan domino yang pertama dijatuhkan.


Keruntuhan.


“Kau harus segera membicarakan ini dengan Larasati. Toh, tidak seperti kau lari ke pelukan wanita lain kan?” Gunawan mendengus.


“Sialan.” Umpat Permadi. Mendengar itu, Gunawan tertawa.


Ia hanya…


Hanya saja, ia tidak mencintai Larasati lagi.


Ia…mencintai orang lain.


Ia telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan. Karena itu, ia ingin berpisah dengan Larasati sebelum semua menjadi lebih rumit dari apa yang telah terjadi. Ia tidak ingin mencederai hubungannya dengan Larasati lebih jauh lagi. Semenyebalkan apapun jawaban Gunawan, ia benar. Permadi harus segera menyelesaikan apa yang telah ia mulai.


Walaupun ketakutan dalam dirinya terasa seperti gempa bumi yang mengguncangkan eksistensinya.

___


“Larasati, aku…”


Hilang. Hilang sudah keberanian Permadi. Semesta seperti menertawakannya sekarang. Baju rajut, aroma kayu manis, dan mata cokelat Larasati. Ia tidak mampu mengatakan apa yang ingin dikatakannya kepada Larasati. Permadi tidak berdaya di hadapan perempuan itu.


“Aku tahu.”


Permadi bersumpah bahwa perempuan itu adalah cenayang. Ia seperti dukun yang mampu membaca pemikiran orang. Ia juga memiliki kemampuan untuk menyirep orang karena kecantikan, keanggunan, dan ketenangannya yang terkadang mengerikan. Jika tidak begitu, apalagi yang bisa menjelaskan bagaimana Larasati mengetahui apa yang ingin ia bicarakan sekarang?


“Aku tidak yakin aku memiliki keteguhan hati untuk mendengarkan hal itu darimu, Di.”


“Maafkan aku.”


Lalu sunyi.


Dalam kesunyian itu, keduanya tersiksa. Betapa jauhnya mereka dari apa yang pernah terjadi di antara mereka. Mereka, atau setidaknya Permadi, pernah mencintai Larasati. Seperti Srikandi dan Arjuna. Namun tampaknya Permadi pun menjadi Arjuna, yang tak mampu mencintai satu wanita saja sepanjang hidupnya.


Lalu Larasati memandangnya. Dalam dan penuh tekad. Tampaknya ia telah memantapkan dirinya untuk apa yang akan ia dengarkan. Karena Permadi tahu, bahwa Larasati tidak mau tersiksa dengan prasangkanya sendiri, walaupun prasangka itu benar.


“Katakan.”


Permadi menarik nafas panjang. “Mari bercerai.”


“Katakan alasannya.”


Bagaimana cara Permadi mengatakan ini dalam pandangan mata cokelat itu?


Permadi telah kehilangan kata-katanya. Ia tidak ingin menyakiti Larasati lebih jauh lagi. Ia juga tidak ingin menyesali apa yang dikatakan dan dilakukannya hari ini lebih dalam lagi.


“Baiklah. Kau tidak mau mengatakan alasannya. Jadi aku yang akan melakukan pengakuanku sekarang. Mungkin hal ini akan membantumu agar tidak terlalu membenci dirimu sendiri atas apa yang terjadi.”


Permadi memandang wajah Larasati. Perempuan yang pernah dicintainya.


“Aku hamil.”


Permadi mandul.


“Dengan Gunawan.”


Sekonyong-konyong, Permadi menangis. Sekeras-kerasnya, seperti bayi merah yang baru keluar dari lubang ibunya. Badan Permadi tertekuk, membebankan pahanya dengan seluruh berat badannya. Air mata keluar dari sela-sela jari yang digunakan untuk menutupi wajahnya.


Larasati membuang pandangannya ke jendela. Mendengarkan suara tangisan Permadi yang teredam suara hujan seperti ia mendengarkan Moonlight Sonata. Tenggelam dalam entah apa.

___


Bagaimana?


Bagaimana Permadi bisa mengatakannya?


Kalau yang dicintai Permadi adalah Gunawan?

1 comentário


ahoykilisuci
05 de jan. de 2021

Setelah membaca kelokan alur cerita ini, kelokan jalan ke Malang jadi kurang menantang.

Curtir
Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2020 by Dive In. Proudly created with Wix.com

bottom of page